Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di
era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan
dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek
sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada
negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.
Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah
sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde baru ada yang sampai kemeja
hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang
diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya
(BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian
timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah
sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang
perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut
jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai
pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi,
kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga
oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit.
Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan
stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk
korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang
dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan
(preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya,
kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama.
Sehingga menjadi suatu kesalahan besar
ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila
yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya
semakin banyak peraturan justru korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan
semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal
korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh
dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah
menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya
tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri
antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi
dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara
yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua
tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau
memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang
telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU
No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error
criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya
yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya
letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan
ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan
memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat
hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak
permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum
hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya
preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan
budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan
ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila
bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial
masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata
aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering
dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan
masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi
jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan
kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus
mata rantainya.
Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) :
1.
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan
pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas
dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan
perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan
kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan
wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan
yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan.
Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan
tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa
teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan
pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan
peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6.
hal yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai,
sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
Pada
akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) ini sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan
lebih maju
0 comments:
Posting Komentar